PEREMPUAN KEDUA

Penulis Ety Syaifurohyani

Badanku masih gemetar, keringat dan air mata bercampur aduk membaur membasahi setiap alur tubuhku. Aku ingin menjerit, menangis sekeras-kerasnya, ingin memaki semua orang yang ada di sekelilingku. Tapi semua itu hanya sekadar keinginan yang membuat dadaku semakin sakit. Akupun tak percaya kalau semua ini bisa terjadi, aku tak percaya mampu menancapkan pisau itu pas di jantung suamiku. Suami…. suami macam apa dia itu, kemarahanku mulai mengalir kembali di urat urat nadiku, semakin kencang, dan akhirnya aku bisa menjerit dan menangis, air mataku mulai meleleh membasahi pipi tirusku. Ada tangan lembut yang mendekap erat tubuhku, tangan yang sudah lama tak pernah kusentuh dan kugenggam lagi. Tangan yang pernah membuat aku begitu sakit hati, tangan yang pernah membuat aku ingin membencinya seumur hidupku, tangan yang pernah membuatku tak ingin mengenalnya lagi, tangan itu benar benar pernah melukaiku sangat dalam dan benar benar membuat aku sangat terluka. Tangan yang pernah begitu keras menampar pipiku, menjambak rambutku dan menghempaskan badan kerempengku ke lantai, diwarnai dengan omelan panjangnya dan khotbah-khotbah yang tak ingin aku mendengarnya. Tapi posisiku sebagai seorang anak yang pernah bersemayam di rahimnya, yang pernah keluar dari jalan peranakannya, membuatku tak pernah berani menentangnya. Kecuali saat itu, ketika tangannya menyiksaku tanpa ampun, karena perbedaan pendapat tentang seorang laki-laki yang menjadi pilihan hidupku. Laki-laki yang kini telah terbujur kaku dengan pisau yang menancap di jantungnya. Akulah perempuan kecil dan kerempeng yang dianggap lemah secara fisik telah berhasil menancapkan pisau tepat di jantungnya. Laki-laki yang telah membuat hidupku bertabur dengan luka … laki-laki yang telah merenggut semua kebahagiaanku… laki-laki yang benar benar membuat aku muak.
Laki-laki itu sekarang terbujur kaku tak bernyawa… dan akulah yang membuatnya tak bisa bernafas lagi, akulah yang menyebabkan laki-laki itu berhenti detak jantungnya. Rasa ingin aku meludahi wajahnya…. rasa aku ingin mencabik cabik tubuhnya dan aku buang dagingnya di tengah jalan supaya menjadi santapan anjing. Aku benar-benar muak dengan lelaki yang sekarang terbujur kaku itu, yang selama satu tahun ini menjadi suamiku, yang membuat hidupku seperti di neraka.

Tangan itu masih memelukku erat dan aku merasakan air matanya membasahi tangan dan pundakku. Ya itulah Mamak… perempuan yang selalu menentang hubunganku dengan laki-laki yang kini terbujur kaku. Kudengar suaranya gemetar, “Kenapa kau lakukan semua ini Idah?”

Aku hanya terdiam, dan menangis tergugu, aku ingin rasanya membenamkan tubuhku dalam pelukannya. Aku hanya bisa berkata lirih, “Maafkan Idah Mak, Idah sudah mengecewakan Mamak”.

Polisi yang sedari tadi berdiri di dekatku segera menggamit tanganku, dan melepaskan pelukan Mamak dari tubuhku, dan berkata dengan suara yang tegas,”Maaf Bu, kami harus membawa Ibu Subaidah ke kantor polisi”.

Dengan perlahan Mamak melepaskan pelukannya ke tubuhku, aku gamit tangannya, aku cium tangannya, seakan tak ingin kulepaskan tangan itu, tapi aku harus segera pergi untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku.

Aku melangkah pelan diiringi dua polisi yang mengawalku, ketika akan melewati pintu keluar aku melihat anak lelakiku yang sudah beranjak remaja, aku peluk dia dengan erat, aku melihat ada genangan air mata di pipinya. Aku peluk dengan erat, dan tangisku pecah lagi, “Maafkan Mama Nak”, suaraku tercekat di tenggorokan.

Aku melanjutkan langkah menuju mobil polisi yang sudah menungguku di depan rumah, aku melihat tatapan tajam tetanggaku dan mereka saling berbisik, aku tahu mereka pasti sedang menggunjingkan aku. Selama ini aku memang selalu menjadi santapan sedap bagi mulut-mulut yang suka bergunjing itu, dari awal sejak aku masuk ke rumah suamiku yang sekarang sudah terbujur kaku dengan pisau menancap di jantungnya. Persetan dengan tatapan sinis mereka, dan mulut-mulut yang mulai menggunjing dan cibiran bibir mereka membuat kemarahanku timbul kembali. Aku mempercepat langkahku supaya cepat masuk ke mobil polisi dan terlepas dari pandangan sinis mereka.
*****

Inilah aku, perempuan yang terlahir dari seorang perempuan bernama Maisarah. Perempuan yang dinikahi oleh seorang lelaki yang sudah separuh abad usianya ketika perempuan yang kini adalah Mamakku masih berusia tujuh belas tahun. Apalah yang dicari perempuan muda tujuh belas tahun dari lelaki yang pantas menjadi bapaknya atau mungkin pantas menjadi kakeknya kalau bukan karena ingin hidup berkecukupan dan bergelimang harta, kalau ada yang bilang karena cinta itu kebenarannya hanya sepuluh persen. Mamakku menikah dengan lelaki yang menjadi bapakku juga karena harta, karena bapakku adalah seorang yang kaya dan terpandang di kampungnya waktu itu.

Beberapa usaha dijalankan oleh bapakku, mulai dari jual beli sapi, penggilingan padi dan penambangan emas yang pasti bukan penambangan legal. Mamakku juga merupakan istri ke-4 Bapak, tetapi begitu menikah dengan Bapak, Mamak lah yang berkuasa dengan semua harta Bapak, dan dengan Mamakku, Bapak seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Menceraikan ketiga istrinya yang lain pun Bapak lakukan demi Mamakku. Mamakku memang hebat bisa menguasai Bapakku dengan baik. Tetapi kehidupan itu seperti roda yang terus berputar, ketika berada di atas seakan semua keinginan akan terwujud, tetapi semua tidak akan abadi. Kerusuhan antaretnis yang terjadi waktu itu meluluhlantakkan semua harta dan usaha Bapak, rumah kami habis dibakar, tanpa ada yang tersisa, dan kami menjadi pengungsi karena kerusuhan. Mamak panik, takut dengan terancamnya keselamatan anak anaknya, akhirnya setelah selesai Sekolah Dasar, Mamak mengirimku sekolah ke Pulau Jawa. Akhirnya aku harus terpisah dengan keluargaku dan juga dengan kedua adikku, harusnya aku bersyukur masih bisa mengenyam pendidikan dengan baik, sampai lulus perguruan tinggi dan menjadi kebanggaan kedua orang tuaku. Selesai kuliah, aku kembali lagi ke tanah kelahiranku, sebuah kota kecil di Kalimantan Barat, yang terletak di pesisir pantai. Mulailah aku dengan kehidupan yang baru, mulai memanfaatkan ijazah yang sudah kuperoleh, untung saja masih ada seorang laki laki yang dari dulu sangat perhatian padaku sejak aku masih kecil, aku memanggilnya Ayah, karena aku memang menganggap dia seperti ayahku. Ayah merupakan pejabat penting di kota kecil itu, sehingga memberiku kemudahan untuk sekadar menjadi guru honor di sekolah yang kuinginkan, karena pastinya pimpinan di sekolah yang aku inginkan pasti akan mengangguk-angguk kalau Ayah yang minta.

Sebenarnya Ayah itu bagiku adalah lelaki yang sangat istimewa, entah rasa apa yang ada dihatiku, tetapi aku tidak mungkin memilikinya karena Ayah sudah punya istri dan anak, bahkan anaknya yang sulung seumuran denganku. Aku juga tahu Ayah sebenarnya juga punya perasaan yang sama denganku, tetapi karena sudah punya istri, Ayah tetap memperlakukan aku sebagai anak gadisnya yang istimewa. Ada jalinan kasih antara aku dan Ayah, dan hanya kamilah yang dapat merasakan, dan kami juga menyadari tak mungkin juga kami akan hidup bersama, pertimbangan Ayah seandainya sampai ingin menikahiku pertimbangannya sangat banyak. Selain istri dan anak anaknya, Ayah adalah seorang pejabat terpandang di kotaku. Ahhhhh… ya sudahlah kami menikmati hubungan ini dengan cara kami.

*****
Bapak sepertinya tahu hubungan istimewaku dengan Ayah, karena Ayah lah yang selalu menjadi pahlawan bagi keluarga kami yang saat itu sedang kekurangan, kalau uang kuliahku belum terbayar, Ayah lah yang mengulurkan tangannya kepada Bapak untuk membantuku, ketika adikku menunggak uang SPP di sekolahnya, Ayah juga yang menjadi malaikat penolong keluarga.

Suatu sore ketika aku sedang santai duduk di teras rumah, Bapak ikut duduk di sampingku, dan pelan pelan berkata ”Idah, Bapak lihat kamu ada sesuatu dengan Pak Hardono”.

Aku menoleh ke Bapak, dan memandangnya dengan sedikit kaget.
“Maksud Bapak?” tanyaku.
“Tidak usah kamu tutup tutupi Idah. Kamu harus menghentikan semua itu. Malu nanti keluarga kita, juga keluarga Pak Hardono. Kamu mengerti kan maksud Bapak?” Bapak berkata dengan sangat serius.
Jantungku mulai berdegup dengan sangat kencang melebihi kecepatan kilat. Aku berpikir, apakah aku harus berterus terang dengan Bapak atau tidak. Tetapi aku pun tidak bisa membiarkan semua ini,siapa tahu Bapak bisa membantuku bicara dengan Ayah. Bukankah Bapak selalu megabulkan semua keinginanku selama ini. Karena aku adalah putri yang paling disayang oleh Bapak dibanding dengan kedua adikku.

Pandangan mataku alihkan ke wajah Bapak, aku pelan berkata,” Pak, jujur aku memang mencintai Ayah, dan begitu juga Ayah juga mencintaiku. Bapak bisa tidak membantuku bicara dengan Ayah, supaya Ayah mau menikahiku”.

Mendengar perkataanku, Bapak membelalakkan matanya dan mendelik menatapku, “Kamu masih waras kan Idah. Kamu gak mikir apa, siapa Pak Hardono, apa kata orang orang di kota ini kalau sampai dia menikahimu, terus bagaimana dengan istri dan anak anaknya? Pakai otakmu kalau ngomong”, kata Bapak dengan muka marah.
Aku tahu Bapak pasti akan marah mendengar ucapanku, tetapi bagaimana kalau aku benar-benar mencintai Ayah, dan aku tidak mau pria lain selain Ayah.

Bapak segera beranjak dari duduknya dan berkata kepadaku sebelum masuk ke dalam rumah, “Jangan bermimpi terlalu tinggi Idah, dan jangan merusak rumah tangga orang”.
Aku hanya bisa terdiam, dan berkata dalam hati, “Lha memang Mamak bukan perebut suami orang, wajar dong anaknya menuruni sifatnya”.

Setelah kejadian itu, aku melihat Bapak dan Mamak sering bercakap cakap yang sepertinya rahasia. Setelah berhari-hari aku sering melihat Bapak dan Mamak berdiskusi yang sepertinya tidak ingin aku mendengarnya.
Malam itu Bapak dan Mamak memanggilku, sepertinya ada pembicaraan penting. Aku berharap Bapak sudah membicarakan dengan Mamak tentang keinginanku menikah dengan Ayah, karena aku tahu Bapak tidak akan pernah bisa menolak kemauanku.

Aku berjalan keluar dari kamar ketika suara Mamak memanggilku. Ketika sampai di ruang makan, aku melihat Bapak dan Mamak duduk berdampingan dengan muka yang tegang.
“Ada apa Mak?”, tanyaku.
“Duduklah Idah, ada yang akan kami bicarakan denganmu”, kata Mamak dengan suara datar.
Aku menyeret kusi makan dari bawah meja dan duduk di depan Bapak dan Mamak. Aku diam menunggu apa yang akan mereka bicarakan.

Terdengar suara Mamak, dan sesuai dengan dugaanku, pasti Mamak yang berbicara, karena memamg Mamaklah, yang menjadi penguasa di rumah ini. Mamak lah yang memegang kendali rumah ini, apa pun kata Mamak adalah sabda raja. Aku berharap Mamak akan mengatakan sesuatu yang aku harapkan, merestui keinginanku untuk menjadi istri Ayah, walau istri kedua. Kan Mamak juga jadi istri keempat dan tidak masalah walau harus membuat ketiga istri Bapak tersingkir. Tetapi kenyataannya Mamak tetap berkuasa bukan hanya di hati Bapak, tetapi juga di kehidupan keluargaku, Mamaklah pemegang undang-undang dan keputusan di rumah ini.
“Idah”, suara Mamak seperti tercekat.
“Mamak sudah dengar dari Bapakmu tentang hubunganmu dengan Pak Hardono. Kamu tahu kan, Mamak sangat hormat dengan Pak Hardono, Mamak juga sangat hormat dengan Bu Zubaidah. Bagi Mamak mereka berdua adalah malaikat yang selalu mengulurkan tangannya ketika Mamak sedang ditimpa kemalangan. Mamak juga tahu, Pak Hardono sangat baik sama Mamak dan Bapak karena ada kamu. Tetapi kita ini hidup bukan hidup sendiri, yang tidak bisa mengikuti semua yang kita inginkan. Kita punya tetangga, punya sanak saudara, punya keluarga, jadi ketika kita mengambil keputusam kita harus memikirkan semua itu. Oleh karena itu Idah, Mamak tidak akan pernah mengizinkan kamu menikah dengan Pak Hardono, dengan alasan, pertama kemungkinan Pak Hardono juga tidak akan mau menikahimu, karena dia sudah punya istri dan anak, yang umurnya pun seumuran denganmu. Kedua, kamu kan tahu Pak Hardono adalah pejabat di kota ini, Mamak rasa dia tidak akan mau mengorbankan kedudukan dan jabatannya hanya demi menikahimu. Apa yang akan orang katakan kalau sampai Beliau menikahimu, dia kemungkinan akan kehilangan jabatannya, selain itu bagaimana dengan istrinya, Bu Zubaidah adalah perempuan dan istri yang sangat baik, Mamak tidak sanggup melihatnya terluka, apalagi kamu yang akan melukainya. Pikirkan semua baik-baik Idah”.

Aku memandang Mamak, seakan aku ingin Mamak mencabut semua apa yang telah diucapkan, aku ingin Mamak mengatakan, kalau kamu ingin menikah dengan Pak Hardono, nanti Mamak bisa mengusahakan, mungkin Bu Zubaidah mau berbagi. Tetapi ucapan Mamak bagaikan suara petir di siang bolong, aku benar benar kehilangan harapan, apalagi kata itu keluar dari mulut penguasa rumah ini. Lelaki yang berkedudukan sebagai suami itu tidak pernah punya taring di depan perempuan yang bernama Maisarah itu. Tunduk dan hanya selalu mengamini apa pun yang dikatakan Nyonya Maisarah.
“Tapi Mak, aku benar-benar mencintai Ayah. Aku hanya mau menikah dengan Ayah, gak mau yang lain”, kataku memelas meminta belas kasihan Mamak.
Mamak menatapku tajam, dan aku tahu itu sudah jadi keputusan Mamak.
Aku hanya tertunduk dan menangis. Aku mendengar suara Mamak, “Besok Mamak perkenalkan kamu dengan anak Pak Cipto. Siapa tahu kamu suka, dan kalian berjodoh”.
Aku kaget mendengar perkataan Mamak, yang ingin menjodohkan aku dengan lelaki lain.
“Aku gak mau”, kataku dengan cepat.
“Dicoba dulu”, kata Mamak.
“Kalau kamu gak suka ya sudah, gak apa apa, berarti bukan jodohmu”.
“Sekarang kamu tidur, sudah malam, besok harus ngajar kan?” kata Mamak sudah dengan suara yang lembut.
“Iya”, jawabku, dan segera berdiri kemudian kucium tangan Mamak dan Bapak, kemudian aku masuk ke kamar.
Kurebahkan tubuh kecilku di kasur. Terbayang wajah Ayah… dan hanya wajah Ayah… lelaki yang pantas menjadi ayahku, tetapi entah aku sangat mencintainya. Air mataku mengalir deras membasahi bantal, aku ambil HP, rasa kau ingin menelpon Ayah, tetapi sudah pukul 11 malam. Ahhh kalau nelpon jam segitu pasti nanti Ibu akan marah, dan akan marah dengan Ayah. Aku bingung, aku hanya bisa menangis dan menatap langit-langit kamarku. Malam semakin larut, dan mataku semakin berat tetapi tidak bisa terlelap, sampai pagi menjelang dan mataku tetap tak bisa terlelap sedetik pun.

Pagi itu sesampai di kantor, aku langsung menelpon Ayah.
“Ada apa cantik, pagi-pagi sudah nelpon? Kangen ya?” suara Ayah terdengar begitu merdu di telingaku. Suara yang selalu membuat aku tergila-gila, suara yang selalu membuat aku merasa nyaman, suara yang selalu membuat aku bahagia.
Air mataku sudah mengalir di pipiku, “Ayah, aku mau ketemu? Bisa?”, tanyaku.
“Bisalah sayang,” kata Ayah, “Mau jam berapa?” tanyanya lagi.
“Sekarang,” kataku.
“Sekarang?” jawab Ayah.
“Di mana?” tanyanya lagi.
“Ayah jemput aku di kantor, aku izin dulu kalau aku akan periksa, kebetulan sedang tidak enak badan”, kataku.
“Oke sayang, 15 menit lagi Ayah akan menjemputmu, Ayah tunggu di seberang jalan saja ya, biar orang tidak curiga,” kata Ayah.
“Iya,” jawabku.
Aku kemudian izin dengan Kepala Sekolah, melihat wajahku yang pucat karena tidak tidur semalaman, akhirnya izin itu aku dapatkan dengan mudah. Aku berjalan cepat menuju gerbang sekolah, dan aku lihat mobil Ayah sudah terparkir di seberang jalan. Aku segera berlari menuju mobil itu, ketika aku membuka pintu mobil, kulihat wajah Ayah yang sumringah.
“Kemana kita?’ tanya Ayah.
“Cari tempat yang gak ada orang,” kataku. “Aku ingin bicara penting,” lanjutku.
Ayah menjalankan mobilnya menuju ke pantai. Setelah memarkir mobilnya, kami berjalan menuju gazebo yang ada di sana.
“Ada apa? Kok sepertinya sangat penting, lihat wajahmu itu sangat pucat,” kata Ayah.
Aku sudah tak sanggup lagi berkata apa-apa, aku langsung memeluk Ayah, aku menangis dalam dekapannya.
“Menangislah, kalau itu akan membuatmu lega,” kata Ayah lembut sambil mengelus kepalaku.
Kalau sudah seperti ini rasanya aku tidak ingin terlepas dari pelukannya, aku ingin seperti ini terus selamanya, berada dalam pelukannya yang hangat.
Setelah agak hilang rasa sesak di hati, aku mulai melepaskan pelukan Ayah, aku pandangi wajahnya dalam-dalam. Bisikku lirih, “Aku sangat mencintaimu Ayah,” kataku.
Ayah memandangku, dan mengelus kepalaku, “Ayah juga tahu,” katanya pelan.
“Ayah juga mencintaimu Idah, bukan sebagai anak tetapi mencintaimu sebagai wanita dewasa,” katanya.
“Tetapi, kamu tahu sendiri, cinta kita tidak mungkin bersatu, karena banyak sekali rintangan yang akan kita hadapi,” kata Ayah dengan menarik napas berat.
“Ayah, semalam Mamak sama Bapak, mengajak bicara denganku masalah hubungan kita,” kataku pelan.
“Memang Bapak dan Mamakmu tahu hubungan kita?” tanya Ayah kaget.
Aku mengangguk pelan.
“Aku yang bilang, karena aku sangat mencintai Ayah, aku ingin mereka bilang ke Ayah, kalau aku ingin dinikahi Ayah,” kataku.
“Terus mereka bilang apa?” kata Ayah.
“Mereka bilang itu hal yang mustahil,” kataku.
“Lha… memang iya kan” kata Ayah lagi.
“Memang Ayah gak mau berjuang untuk cinta kita?” kataku sedikit marah.
“Idah,” kata Ayah lembut.
“Kamu kan tahu dari awal posisiku, aku adalah pejabat, aku sudah punya istri yang sangat baik, aku tidak akan tega melukainya, aku juga punya anak-anak, aku juga bingung Idah,” katanya dengan memegang tanganku erat.
“Aku tahu Ayah,” kataku. “Tetapi aku sangat mencintaimu, aku hanya ingin menikah denganmu, bukan dengan yang lain”, kataku sambil terisak.
“Kamu jangan menangis sayang, Ayah gak kuat melihat kamu menangis,” kata Ayah sambil merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
“Kamu harus bersikap dewasa Idah, kita juga harus berpikir rasional, kalau kita mengikuti kemauan kita, banyak yang akan terluka,” kata Ayah.
“Semalam Mamak bilang akan mengenalkan aku dengan anak Pak Cipto. Aku takut kalau disuruh menikah dengan anak Pak Cipto, aku takut tidak bisa mencintainya, karena aku tahu cintaku hanya untuk Ayah,” kataku.
“Idah, kamu harus belajar membuka hati, demikian juga aku, harus belajar untuk melepaskanmu, walau terasa berat dan sakit tapi kita harus mencoba,” kata Ayah.
Aku sebenarnya sangat sedih… sedih sekali, tetapi memang benar kata Ayah, harus berpikir rasional, kalau kami mengikuti kata hati kami, akan banyak yang terluka. Akhirnya aku mengalah dan pasrah, aku harus menerima semua kenyataan ini, aku harus bisa melepaskan Ayah dari hatiku pelan pelan. Aku harus bisa mengarungi hari-hariku tanpa Ayah lagi.

*****
Setelah kejadian di pantai itu, Ayah tidak pernah menghubungiku lagi, semua pesan yang aku kirimkan ke ponselnya tidak pernah berbalas. Kalau aku telpon, hanya dijawab sekadarnya, dan bilang sedang sibuk rapat, sedang ke luar kota. Sedih dan tak berdaya yang aku rasakan, aku kehilangan semangat hidupku, aku kehilangan separoh jiwaku, perih tak terkira.
Akhirnya sore itu ketika aku baru pulang dari mini market, aku melihat ada motor terparkir di halaman rumahku. Ketika aku akan masuk dari pintu samping, terdengar suara Mamak memanggilku.
“Idah, sini Nak, ada tamu nih,” kata Mamak.
“Iya, sebentar, Idah narok belanjaan dulu,” jawabku sambil masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.
Setelah meletakkan belanjaan aku berjalan ke kamar tamu, aku melihat ada seoramg lelaki muda yang seumuran denganku, dan seorang bapak yang seumuran dengan Ayah.
“Idah, ini Pak Cipto, dan yang ini bujang Pak Cipto,” kata Mamak dengan wajah sumringah.
Aku ulurkan tanganku untuk bersalaman, yang pertama aku salami adalah Pak Cipto, kemudian anak lelakinya.
Dari situ baru aku tahu anak lelaki Pak Cipto bernama Aliudin, yang biasa dipanggil Ali
Setelah berbasa basi bercerita hal-hal yang tidak penting menurutku, mereka pun berpamitan. Sebelum berpamitan Ali meminta no hp ku, dan dengan tanpa rasa apa pun aku memberikan no hp ku.

Sejak berpisah dengan Ayah, dengan sikap Ayah yang selalu menghindar dariku, aku sudah tidak punya keinginan apa pun dalam hidupku. Terserah apa pun yang akan terjadi dalam hidupku, semua aku jalani hanya sebagai rutinitas, tidak ada riak dan gelombang. Sampai akhirnya setelah satu bulan perkenalanku dengan Ali, orang tua Ali datang ke rumah dan meminangku untuk menjadikan diriku istrinya Ali, aku hanya mengangguk mengiyakan, tanpa ada rasa membuncah ketika dilamar seorang lelaki, dan juga tidak ada perlawanan dalam diriku untuk menolak Ali. Untuk apa juga aku menolak, toh Ayah yang aku harapkan mau berjuang untuk cinta ini sudah menyerah.
Akhirnya tanpa pesta yang meriah aku menikah dengan Ali, dan tak nampak Ayah diantara tamu undangan, padahal aku tahu Bapak menyampaikan undangan ke Ayah langsung tanpa menggunakan surat undangan, sebagai rasa hormat Bapak ke Ayah.
Pernikahanku serasa hambar, senyumku jarang sekali tersungging di bibirku, apalagi tertawaku yang biasa memecahkan keheningan tak pernah lagi terdengar. Aku hidup hanya menjalani rutinitas, aku memutuskan keluar dari pekerjaanku, aku hanya ingin di rumah, aku tidak mau lagi bertemu dengan orang-orang yang hanya akan mengingatku dengan Ayah.
Sebulan setelah menikah, aku positif hamil. Ali nampak bahagia dengan kehamilanku, sebaliknya aku tidak bisa menyambut kehadiran buah hatiku dengan hati yang bahagia. Entah tak ada rasa bahagia yang bergejolak di hatiku seperti perempuan lain yang setelah menikah mereka mengandung. Aku biasa saja, sepertinya aku sudah tidak punya nyawa. Walau aku tidak merasakan bahagia dengan kehamilanku aku tetap memeriksakan kandunganku dengan teratur, dan Ali selalu semangat kalau sudah sampai jadwal aku periksa.
Kandunganku sudah 5 bulan, ketika akan memeriksakan kandunganku ke rumah sakit, kebetulan Ali sedang ada tugas kantor ke luar kota. Terpaksalah aku berangkat sendiri ke rumah sakit. Ketika sedang duduk menunggu panggilan yang sangat lama, karena pasien di kandungan memang selalu ramai. Aku duduk sambil memainkan ponselku, aku pencet pencet nama kontak yang ada di ponselku, berhenti pada nama Ayah, ingin rasanya aku meneleponnya, tetapi aku takut kecewa, aku takut tak bisa membendung air mataku, dan akan menjadi tontonan orang yang sedang antri di rumah sakit. Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas, dan mataku tertuju pada sesosok laki-laki yang sedang berdiri di loket pendaftaran. Itu Ayah, tak salah lagi mataku, itu Ayah. Aku segera berdiri mendekatinya.
“Ayah,” panggilku pelan.
Lelaki itu menoleh, dan memandangku, kemudian terlihat senyum tipisnya.
“Idah,” katanya.
Aku langsung mengulurkan tanganku dan disambut dengan uluran tangannya, aku cium tangan Ayah, dan aku tahu tangan Ayah basah oleh air mataku.
“Ayah sakit?” tanyaku.
“Gak, cuma cek biasa, maklum sudah semakin tua, banyak penyakit yang mendekati,” kata Ayah.
Kami beranjak dari loket pendaftaran dan duduk di kursi antrian.
“Kenapa Ayah gak pernah membalas pesanku, dan kalau ditelpon selalu menghindar?” tanyaku.
“Idah, sekarang sudah lain, kamu sudah jadi istri orang, dan sebentar lagi akan punya anak,” kata Ayah.
“Tetapi kenapa Ayah meninggalkan aku dengan cara seperti ini?” kataku terisak, dan aku sudah tak mampu lagi membendung air mataku.
Ayah menggamit lenganku, dan mengajakku pergi dari kursi antrian rumah sakit, dia berjalan di depanku dengan langkah agak cepat, aku mengikuti dibelakangnya dengan langkah tersuruk-suruk karena perutku yang sudah mulai membesar.
Ayah masuk ke dalam mobil, dan aku segera menyusulnya. Kami meninggalkan rumah sakit itu dan sudah tidak terpikir lagi untuk melanjutkan periksa.
Ayah megarahkan mobilnya ke pantai, ke tempat biasa kami menghabiskan waktu berdua. Setelah sampai di pantai, Ayah turun dari mobil, dan aku pun menyusulnya. Aku diam saja, aku pandangi wajahnya, dia nampak agak kurus.
“Idah, bukan hanya kamu yang tersiksa, aku juga sangat tersiksa. Aku sudah mencoba melupakan kamu, mencoba kembali mencintai istri dan anak anakku dengan sepenuh hati, tetapi aku tidak bisa. Aku benar benar tersiksa,” katanya.
Dia memandangku lekat-lekat dan kemudian menarik tubuhku ke pelukannya. Aku merasakan darah di tubuhku mengalir sangat cepat, ada rasa yang selama ini aku rasakan sudah mati bangkit lagi. Darahku terasa hangat lagi, nyawaku rasanya sudah kembali ke ragaku. Ayah… aku memeluknya dengan sangat erat, tak ingin aku melepaskan lelaki pujaaanku ini dari pelukanku. Rasanya aku ingin pergi berdua ke negeri lain, yang orang orang tidak mengenal kami, sehingga kami bisa hidup bahagia.
Tetapi itu hanyalah mimpi yang sangat indah, mimpi yang tidak akan mungkin terwujud.

*****
Sejak pertemuan dengan Ayah waktu itu, aku menjadi punya semangat hidup lagi, aku mulai aktif lagi untuk bekerja, dan bersyukurnya aku bisa diterima mengabdi sebagai guru di sebuah SMA negeri. Ali begitu bahagia melihat perubahanku, aku yang dulu sangat susah untuk tersenyum sekarang sudah sering tersenyum dan tertawa renyahku sering sekali menghiasi rumah.
Ayah selalu membalas pesanku, selalu mengangkat teleponku, dan kadang kadang kami masih bisa bertemu hanya untuk sekadar makan atau menikmati es kelapa muda. Sederhana tapi aku bahagia. Entahlah apa yang akan orang katakan apabila tahu kehidupan cinta antara Aku, Ayah, dan Ali.
Petaka itu terjadi setelah aku melahirkan anak laki-lakiku. Ayah mengirimkan pesan lewat ponselku, yang menanyakan bagaimana keadaan anak laki-lakinya. Aku tahu Ayah hanya bercanda, karena dia tahu anak laki-lakiku yang aku beri nama Ramadhan, karena lahirnya pas bulan Ramadhan itu bukan anaknya, tetapi anak Ali. Ketika aku membuka pesan Ayah, aku tersenyum, ahhh Ayah nih ada ada aja, kemudian aku balas, “Anak kita baik baik saja, dan dia ganteng kayak Ayah”.
Setelah membalas pesan itu, aku mendengar Adhan menangis dengan keras, segera aku letakkan ponsel di meja makan, dan aku berlari ke kamar untuk melihat Adhan. Saat itulah Ali pulang, yang belum jam kantor pulang, dia bilang mau ambil berkas yang ketinggalan di rumah. Pada saat Ali bejalan keluar, dia melihat ponselku yang di atas meja makan berdering, dan dia mengangkatnya, aku mendengar suaranya,” Halo.. halo… iya ini siapa?”.
Nampaknya sambungan telepon itu terputus, dan aku melihat dari dalam kamar dia membuka-buka ponselku. Jantungku serasa berhenti berdetak, aku ingat pesan dari Ayah belum aku hapus, dan aku yakin yang menelepon ke ponselku tadi adalah Ayah. Benar saja dugaanku, aku melihat Ali berjalan menuju kamar dengan muka merah padam, dia memandangku dengan sangat marah.
“Siapa Ayah di dalam ponselmu ini Idah?” gertaknya.
Ali langsung memanggil namaku, padahal biasanya dia memanggilku dengan sebutan Adek.
Aku tergagap-gagap menjawabnya, “Itu Pak Hardono Bang, kan Abang tahu Pak Hardono itu sudah seperti ayahku sendiri,” jawabku.
“Ayah.. Ayah.. Ayah sendiri…, kamu kira aku tidak dengar omongan orang di luar sana tentang hubunganmu dengan Ayahmu itu. Hanya karena aku kasihan dengan Bapakmu aku menikahimu, aku kira dengan menikah denganku kau bisa melupakan Ayahmu itu, ternyata kamu memang benar benar perempuan murahan. Aku kira Adhan itu anakku, ternyata itu adalah anak harammu dengan Ayahmu,” teriak Ali dengan sangat emosi.
Aku mulai menangis, aku tidak terima anakku dibilang anak haram, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosiku.
Aku menaruh anakku di boks tidurnya, dan aku berjalan ke luar kamar.
“Jaga mulutmu Ali, itu anak kita, bukan anak Ayah,” teriakku.
“Apa, kamu masih menyangkal, pesan di ponselmu itu sudah menjadi bukti Idah, dan aku tidak sudi punya istri seperti kamu. Perempuan murahan. Hari ini aku cerai kamu. Pulanglah ke rumah orng tuamu, aku tak sudi melihat wajahmu dan anakmu di rumahku,” teriak Ali seperti orang kesetanan.
Aku pun sudah dalam keadaan emosi yang memuncak, aku ke kamar aku gendong Adhan dan segera mencari taksi, dan aku pulang ke rumah ibuku. Ali pun menceraikan aku.

*****
Kehidupan selalu bergulir dengan dan tak terasa sudah 6 tahun aku menjanda. Pada saat itulah aku berkenalan dengan seorang laki-laki tanpa sengaja, melalui telepon salah sambung. Laki-laki yang tinggal dan bekerja berbeda pulau denganku. Lelaki yang selalu memberikan apa pun yang aku butuhkan. Setelah berhubungan beberapa lama, akhirnya lelaki itu datang juga ke rumah. Dia memanjakan aku dengan barang barang yang mahal dan bermerk. Aku seperti melambung dengan segala perhatiannya. Karena setiap libur dia selalu pulang ke rumahku, aku ingin hubungan ini menjadi hubungan yang semestinya. Aku menanyakan kapan akan melamarku. Dengan segala alasan dan argumentasinya, dengan banyak kendala yang dihadapinya, akhirnya aku mengambil pilihan yang terburu-buru, aku memutuskan untuk menikah siri. Aku tidak pernah mengenal keluarga suami keduaku, yang aku tahu dia selalu menstransfer uang yang lumayan banyak ke rekeningku.

Setahun setelah menikah dengannya, tiba tiba ada seorang wanita datang ke rumahku dari seberang pulau, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya. Dunia seakan runtuh menindih badanku, aku tak percaya dengan kenyataan yang harus aku hadapi, akhirnya aku harus kehilangan laki-laki yang selama menopang kehidupanku dan Adhan. Aku kembali terluka. Tetapi kehidupan harus terus dijalani, aku berusaha menguatkan hati. Memang ini yang harus aku jalani. Aku menjadi janda untuk kedua kalinya.
Rasa sudah lelah aku menjalani semuanya, tetapi Adhan selalu menjadi semangatku untuk terus berjalan menyusuri kehidupan.

*****
Setahun aku menjalani hidup yang semakin berat, aku bekerja hanya untk mencukupi semua kebutuhan hidupku dan Adhan. Saat itulah hadir lelaki yang biasa kami bertemu di organisasi paguyuban. Lelaki yang usianya dua puluh tahun di atasku. Lelaki ini bernama Suhadi. Aku tahu dia sudah beristri, bahkan sudah menikah berkali kali. Istri yang sekarang adalah istrinya yang kelima. Tetapi dengannya bicara selalu terasa mengalir, dia sering bercerita kalau istrinya tidak mengenyam pendidikan tinggi, terus bilang betapa bahagianya kalau mempunyai istri berpendidikan tinggi, pastilah lebih enak untuk diajak tukar pikiran dan berdiskusi. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya hubungan kami mengalir seperti alunan air. Mulai ada benih benih cinta yang menghiasi kehidupan kami. Tetapi terkendala lagi, karena Suhadi sudah punya istri dengan 5 anak.

Suatu hari setelah ada kegiatan paguyuban, aku mulai menanyakan tentang keseriusannya dalam hubungan ini.
“Bang, bagaimana kelanjutan hubungan kita ini?” tanyaku.
“Aku sudah lelah dan capek, kalau Abang memang serius, Abang sudah tahu apa yang harus Abang lakukan, tetapi kalau hubungan ini tidak akan bermuara, lebih baik kita akhiri saja Bang,” kataku.
Aku melihat Bang Hadi mengaduk-aduk kopi yang ada di depannya. Dia memandang wajahku, dan kemudian berkata dengan serius,”Aku mencintaimu Idah, aku akan melakukan apa pun untukmu, beri aku waktu satu atau dua bulan untuk menyelesaikan urusanku dengan istriku,” ucapnya.
“Aku pegang janjimu Bang,” kataku.
“Kalau sampai dua bulan tidak ada keputusan, Abang jangan temui saya lagi,” kataku menegaskan.
“Iya, aku janji Idah,” katanya meyakinku.
Setelah dua bulan dari pertemuan itu, ternyata lelaki itu memenuhi janjinya untukku, dia menceraikan istrinya secara lisan, yang belum mempunyai kekuatan hukum. Setelah lelaki itu bercerai, dia mengajakku menikah. Tetapi masih saja ada halangan, Mamak menolak mentah-mentah rencanaku menikah dengan Suhadi. Aku melihat mata Mamak berkilat-kilat marah, ketika aku menyampaikan maksudku untuk menikah dengan Suhadi.
“Apa Idah, kamu mau menikah dengan laki-laki yang begitu mudah mencampakkan istrinya demi perempuan lain?” Dengan istrinya bisa begitu, mungkin denganmu nanti dia juga akan begitu,” kata Mamak.
“Sadarlah Nak, kenapa kamu selalu memilih menjadi perempuan kedua?” kata Mamak dengan ketus.
“Tapi, Idah mencintai Bang Hadi Mak,” aku menjawab berusaha meyakinkan Mamak.
“Sekali Mamak bilang tidak, tetap tidak, kalau kamu mau menikah dengan lelaki itu, pergi kamu dari rumah Mamak, dan jangan anggap lagi aku sebagai Mamakmu,” teriak Mamak.

Tekatku sudah bulat, aku harus menghargai keputusan Suhadi, dia sudah menceraikan istrinya atas permintaanku, maka aku harus menepati janjiku. Karena aku sudah merasa bisa memutuskan hidupku sendiri, maka dengan diam-diam tanpa memberitahu Bapak dan Mamak aku menikah dengan Suhadi, menikah siri. Entah dapat berita darimana akhirnya kabar itu sampai juga ke telinga Mamak.
Aku yang baru pulang dari kantor, melihat Mamak sudah duduk di depan kamarku.
“Idah, duduk kamu, Mamak mau bicara,” kata Mamak seperti seorang pengadil menghadapi terdakwa.
“Idah masukkan tas dulu ke kamar Mak,” jawabku.
“Mamak bilang, kamu duduk, dan kamar itu bukan kamarmu, itu kamar Mamak, karena rumah ini adalah milik Mamak,” kata Mamak lagi.
Akhirnya aku mengalah tidak mau bersitegang dengan Mamak. Aku duduk di kursi seperti pesakitan, dengan Mamak duduk di depanku dengan tatapan matanya yang tajam menatap wajahku. Aku tak berani memandang wajah Mamak, aku menunduk dan siap mendengar keputusan pengadil di rumah ini.
“Idah, pandang wajah Mamak,” kata Mamak.
Pelan-pelan kuangkat wajahku, aku mencoba memandang wajah Mamak, tidak ada kelembutan di sana, aku melihat wajah Mamakku seperti malaikat pencabut nyawa, wajahnya sangat mengerikan. Tiba-tiba tangan Mamak melayang menampar wajahku dengan sangat keras, aku menjerit dan menangis, belum pernah Mamak memperlakukan aku seperti ini.
“Sepertinya Mamak sudah salah medidikmu Idah, kau lemparkan kotoran ke muka Mamak. Benarkah kau sudah nikah siri dengan Suhadi?” tanya Mamak dengan tatapan matanya yang menyala-nyala marah.
Aku hanya menangis terguguk, aku tak berani lagi menatap mata yang seakan menelanku bulat-bulat.
“Jawab Idah,” kata Mamak dengan suaranya yang melengking tinggi.
Aku yang sudah terjerambab di lantai karena tamparan Mamak, semakin terpuruk, dan seakan aku tak mampu lagi mengangkat tubuhku yang semakin kurus. Mamak mendekatiku, aku merasa Malaikat pencabut nyawa semakin dekat, aku menangis tertahan. Aku merasakan tangan Mamak menarik rambutku.
“Anak durhaka, anak tak tau diuntung, anak kurang ajar, anak tak bisa diurus,” sumpah serapah keluar dari mulut Mamak.
“Anak bisanya hanya mempermalukan orang tua, tak sudi Mamak melihat wajahmu lagi, Mamak malu punya anak seperti kamu. Sekarang kamu angkat kaki dari rumah Mamak, pergi sana sama si Suhadi, dan jangan coba-coba kau bawa Adhan dari rumah ini. Sampai kau bawa Adhan keluar dari pintu, Mamak tidak segan membunuhmu,” teriak Mamak.
Aku berusaha berdiri, aku melihat ada darah mengalir di sudut bibirku, aku berusaha berjalan mendekati pintu kamarku, tetapi sudah terdengar lengkingan suara Mamak,”Jangan masuk ke kamar itu, aku gak mau kamar itu kena najismu, pergi kamu dari rumahku, jangan bawa barang secuilpun dari rumahku”, teriak Mamak seperti orang kesetanan.
“Aku hanya ingin ketemu Adhan,” kataku lirih.
“Tak perlu kamu ketemu anakmu, biar Adhan jadi tanggungan Mamak, Adhan tidak perlu Ibu seperti kamu, pergi kamu setan,” teriak Mamak lagi.
Aku segera berlari keluar rumah, tak tahu aku harus melangkahkan kaki kemana, aku harus ke rumah Suhadi, karena sekarang dialah adalah suamiku, seharusnya dia menjadi pelindungku, menjadi malaikat penolongku, tetapi kemana dia.
Aku berjalan tertatih sambil menahan rasa sakit yang teramat pedih, aku terseok-seok melangkahkan kaki menuju rumah Suhadi yang kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh.
Rumah itu tertutup, aku perlahan mengetuk pintu rumah suamiku, dan pintu itu terbuka, dan aku terkejut melihat yang membukakan pintu, dia adala Soleha istri Suhadi yang katanya sudah diceraikan.
“Ohhhhh perempuan sundal, perebut suami orang, mau apa kamu ke sini dalam keadaan babak belur begini?’ suara Soleha terdengar sangat ketus di telingaku. “Kemana Suhadi?” teriakku.
“Ada di kamar,” jawab Soleha dengan santai.
Di kamar, mereka di rumah hanya berdua dengan mantan istrinya, terus apa saja yang mereka lakukan berdua di rumah. Dadaku seperti mau meledak, kemarahan yang begitu memuncak memenuhi rongga dadaku. Aku berlari… menerjang ke kamar Suhadi, aku melihat dia sedang terduduk di pinggir ranjang. Dia memandangku, aku jijik melihatnya, aku dekati dia, aku tampar wajahnya dengan segala kekuatanku.
“Lelaki banjingan,” teriakku.
Suhadi hanya memandangku, entah apa yang ada di dalam otaknya.
“Lelaki tak tau diri, aku sudah mengorbankan semuanya untukmu, anakku, Mamakku, Bapakku, semua keluargaku membenciku karena aku mencintaimu. Tetapi apa yang kau lakukan padaku hah?” teriakku.
Mataku nanar memandang wajah Suhadi yang sepertinya masih tak percaya kalau aku sudah berdiri di depannya.
Aku melihat ada pisau dengan potongan mangga di meja kamar itu, kemungkinan mereka tadi berdua masih bermesraan sambil makan mangga berdua.
Aku ambil pisau itu dengan secepat kilat, terbayang kemarahan Mamakku, terbayang wajah Soleha yang merasa menang dihadapanku, dan terbayang semuanya berkelebat kelebat di otakku. Aku berlari menuju Suhadi yang masih terpekur di samping ranjang, aku hujamkan pisau itu pas di jantungnya.
“Matilah kau iblis,” teriakku dengan histeris. Aku mendengar jeritan Soleha, aku mendengar orang orang yang berkerumun, ada yang menjerit melihat darah berhamburan di lantai kamar.

*****
Aku berjalan menyusuri lorong, lorong yang sangat panjang. Lorong yang menurutku tidak berujung. Aku harus bertanggung jawab, di depan pengadilan dan di depan Tuhan. Doaku hanyalah agar Ramadhan anak lelakiku selalu dalam lindungan Allah, dan berharap Ramadhan anak lelakiku menjadi lelaki sejati.

SELESAI

Tinggalkan Komentar